Pages

2012 hak cipta dilindungi Allah SWT. Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 17 Mei 2012

Kisah si Tokek


                Kenapa harus Tokek? Karena tokeklah yang saat ini sedang terkenal, manggung dimana – mana.
***
                Tokek, yag baru – baru ini menghantui ketenangan warga sekitar rumahku. Mengganggu ketenangan tidur masing – masing kepala. Bahkan ayam – ayam kampong peliharaan kamipun ikut tersedak mendengar nyanyian sumbang suaranya. Nyaris membuat kericuhan.
                Lagi – lagi, setiap lima menit sekali tokek kampret itu bernyanyi. Seolah ia sedang memamerkan suara merdunya seperti Mariah Carrey. Enak saja. Dan penderitaan yang parah adalah, tokek itu kini bersarang di rumah bapak – emakku. Tepatnya lagi di atas kamarku, di langit – langit kamar. Iya, memang benar aku bisa menjadikan ia sebagai alarm jam tidurku, tapi sungguh menyiksa jika alarm berbunyi tiap lima menit sekali. Menyedihkan.
                Hampir tiap malam aku menderita susah tidur. Hingga saat ini, sudah malam kelima aku ditemani sang tokek kampret. Matakupun menunjukkan tanda – tanda kurang tidur karena terlihat kantung mata yang hitam di bawah mata sipitku. Aku jengkel.
***
Tokek bagiku bukan masalah. Ia tak bersalah karena suara sumbangnya yang senantiasa mengganggu ketenanngan dalam jiwa di malam hari. Ia tak bersalah atas apa yang jadi ciri khasnya. Justru si tokek ini lebih perhatian daripada pacarku, ia selalu tepat waktu membangunkanku sebelum subuh.
Tapi, tokek hanyalah tokek. Hewan yang masih anggota keluarga cicak yang makan nyamuk. Tapi bukan itu masalahnya. Masalah ini lebih serius karena menyangkut reputasi keluarga.
‘ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi, nak’ kata bapakku.
Iya, memang benar ini sudah keterlaluan. Ini sangat keterlaluan jika keluargaku difitnah menggunakan tokek sebagai alat pesugihan. Apa hubungan tokek dengan pesugihan? Jika saja tokek yang ada di rumahku ini adalah tokek dari Brazil yang berwarna emas, itu sudah jelas jika tokek ini membawa rezeki karena harganya jutaan. Tapi? Itu hanya tokek kampong yang mengganggu.
Sugguh otakku tak pernah habis berfikir kenapa orang – orang di sektarku berpikir macam orang bego kelas kakap. Tak pernah mereka menggunakan logika dalam pemikiran – pemikiran yang mereka lontarkan tiap hari. Entah bagaimana perkembangan psikologis anak – anak mereka kelak di jaman yang lebih modern. Apakah masih menggantungkan diri pada hal – hal tahayul yang tak berguna.
‘woy woy woy!! Mana tokeknya! Ayo kita bunuh saja tokek pembawa sial itu! Gara – gara tokek itu kami semua tak dapat tidur! Kami tak bisa bekerja!’ teriak beberapa orang di depan rumahku. Masing – masing dari mereka ada yang membawa celurit, sabit, linggis, dan panic. Entahlah apakah tokek bisa dimasak atau tidak.
Keadaan seperti itu jelas membuatku bingung. Tapi aku terus mencoba berpikir positif. Dengan datangnya mereka ke rumah, berarti setidaknya ada beberapa orang yang akan membanu menangkap tokek. Tapi di sela – sela kericuhan itu ada yang berteriak,
‘Heh! Pak RT! Apakah Anda menggunakan tokek ini sebagai pesugihan? Kenapa tidak dari kemarin dulu kau tangkap dank au bunuh saja tokek keparat itu?’
Lumayan menyayat hati.
Bapakku keluar dari rumah memakai sarung kotak – kotaknya, menemui orang – orang rebut yang benci tokek itu. Terlihat bapakku menjelaskan –entah apa- kepada orang – orang ricuh yang tak tahu aturan itu. Kini ereka berbondong – bondong naik ke atas genteng. Mencari keberadaan tokek kampret itu. Ada sebagian naik ke atas, dan sebagian lagi di bawah saja atau istilahnya ndedepi. Aku sendiri hanya melihat dari jendela.
Ketika aku tak tahan lagi aku keluar rumah. Sore ini langit tak cerah, tetapi berwarna ungu pucat dengan mendung yang menyelimuti. Aku hanya memandangi mereka yang bersahut – sahutan mencari tokek seperti mencari emas di pertambangan. Terkadang mereka seperti sedang main petak umpet.
Setelah sekitar dua jam mencari dan berlarian kesana kemari, bermain petak umpet bersama sang tokek kampret itu, akhirnya didapati oleh seorang tetanggaku, si tokek itu pingsan. Ia jatuh dengan sendirinya dari atas genteng. Ia terlihat mabok mungkin suara – suara orang yang memfitnah ia sebagai alat pesugihan membuat ia mati perlahan.
Aku mendekati orang yang menangkap tokek itu. Aku meminjam tokeknya, memegangnya, dan aku amati tubuhnya. Kulitnya berwarna hitam dengan bintik – bintik putih seperti kutil yang memenuhi seluruh tubuhnya. Tokek ini besar, sebesar kilanan tangan kananku. Ekornya keras dan bergaris – garis hitam, menggeliat – geliat. Aku pikir tokek akan melepaskan ekornya jika ada musuh yang menggangunya. Tapi ternyata tidak. Ia masih mempunyai cukup kberanian utnuk bertemu dengan manusia yang memburunya. Satu yang menarik perhatianku. Mata tokek itu. Cahaya matanya seperti berkata ‘selamatkan aku’. Mata yang menonjol seperti mau keluar. Mungkin bisa saja sat itu aku memencet matanya dan ia akan keluar dari lubangnya. Tapi ku urungkan.
Rasa iba merasuki hatiku. Mata tokek yang ingin berkata ‘selamatkan aku’ ini membuatku tersentuh. Aku berkata pada orang – orang yang ricuh tadi untuk melapskan tokek ini. Tapi mereka malah memarahiku, dan merebut tokeknya. Aku lihat mata tokek itu, seakan ingin berbicara ‘jika aku mati aku akan digantikan saudaraku’.
Entahlah, apakah itu hanya ilusi dalam otakku atau firasat yang buruk. Aku tak dapat membedakannya. Aku biarkan saja tokek itu dibunuh. Mati dengan mengenaskan. Diinjak – injak oleh beberapa orang. Tapi aku melarang bapakku ikut – ikutan.
Setelah tokek itu mati, orang – orang pun peri begitu saja meninggalkan bangkai tokek yang gepeng dan melet itu. Matanya keluar, kaki – kakinya melentang dengan lebar dan tubuhnya sudah hampir tipis seperti rempeyek. Hati ini tersentuh. Ku ambil cangkul dan ku gali kuburan untuknya. Tokek yang senantiasa jadi alarm yang setia.
Beberapa hari setelah kejadian tragis yang menimpa tokek kampret, kini tak pernah lagi hadir dalam malam – malamku. Tak ada lagi suara sumbangnya. Cicak – cicak di rumahku pun sekarang terlihat bahagia karena tak ada cicak raksasa yang merampas makanan lezatnya. Dan aku juga bisa hidup normal, tanpa kantung mata yang menghias wajahku.
Beberapa hari kemudian,
Orang – orang kembali ricuh dan geger. Dari berita yang beredar, katanya ada puluhan bahkan ratusan tokek hitam dan besar yang kini menghantui kehidupan mereka. Tokek – tokek itu ada di setiap sudut rumah orang – orang yang kemarin sempat geger itu. Bahkan di depan pintu, di langit – langit rumah pun ratusan tokek berjejer mebuat barisan seperti tentara yang sedang menjaga daerah teritorialnya. Tai – tai tokek itu bertebaran, membawa aroma busuk yang menyengat. Tak segan – segan tokek – tokek itu jatuh, masuk ke dalam mulut orang yang sedang menganga. Di rumahku sendiri tak ada seekor tokekpun.
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi mata tokek itu ternyata tak berbohong. Mata melotot yang jujur. Mata melotot yang waspada.

0 komentar:

Posting Komentar