Kenapa harus Tokek? Karena
tokeklah yang saat ini sedang terkenal, manggung dimana – mana.
***
Tokek, yag baru – baru ini
menghantui ketenangan warga sekitar rumahku. Mengganggu ketenangan tidur masing
– masing kepala. Bahkan ayam – ayam kampong peliharaan kamipun ikut tersedak
mendengar nyanyian sumbang suaranya. Nyaris membuat kericuhan.
Lagi – lagi, setiap lima menit
sekali tokek kampret itu bernyanyi. Seolah ia sedang memamerkan suara merdunya
seperti Mariah Carrey. Enak saja. Dan penderitaan yang parah adalah, tokek itu
kini bersarang di rumah bapak – emakku. Tepatnya lagi di atas kamarku, di
langit – langit kamar. Iya, memang benar aku bisa menjadikan ia sebagai alarm
jam tidurku, tapi sungguh menyiksa jika alarm berbunyi tiap lima menit sekali.
Menyedihkan.
Hampir tiap malam aku menderita
susah tidur. Hingga saat ini, sudah malam kelima aku ditemani sang tokek
kampret. Matakupun menunjukkan tanda – tanda kurang tidur karena terlihat
kantung mata yang hitam di bawah mata sipitku. Aku jengkel.
***
Tokek bagiku
bukan masalah. Ia tak bersalah karena suara sumbangnya yang senantiasa
mengganggu ketenanngan dalam jiwa di malam hari. Ia tak bersalah atas apa yang
jadi ciri khasnya. Justru si tokek ini lebih perhatian daripada pacarku, ia selalu
tepat waktu membangunkanku sebelum subuh.
Tapi, tokek
hanyalah tokek. Hewan yang masih anggota keluarga cicak yang makan nyamuk. Tapi
bukan itu masalahnya. Masalah ini lebih serius karena menyangkut reputasi
keluarga.
‘ini sudah tidak
bisa dibiarkan lagi, nak’ kata bapakku.
Iya, memang
benar ini sudah keterlaluan. Ini sangat keterlaluan jika keluargaku difitnah
menggunakan tokek sebagai alat pesugihan. Apa hubungan tokek dengan pesugihan?
Jika saja tokek yang ada di rumahku ini adalah tokek dari Brazil yang berwarna
emas, itu sudah jelas jika tokek ini membawa rezeki karena harganya jutaan.
Tapi? Itu hanya tokek kampong yang mengganggu.
Sugguh otakku
tak pernah habis berfikir kenapa orang – orang di sektarku berpikir macam orang
bego kelas kakap. Tak pernah mereka menggunakan logika dalam pemikiran –
pemikiran yang mereka lontarkan tiap hari. Entah bagaimana perkembangan
psikologis anak – anak mereka kelak di jaman yang lebih modern. Apakah masih
menggantungkan diri pada hal – hal tahayul yang tak berguna.
‘woy woy woy!!
Mana tokeknya! Ayo kita bunuh saja tokek pembawa sial itu! Gara – gara tokek
itu kami semua tak dapat tidur! Kami tak bisa bekerja!’ teriak beberapa orang
di depan rumahku. Masing – masing dari mereka ada yang membawa celurit, sabit,
linggis, dan panic. Entahlah apakah tokek bisa dimasak atau tidak.
Keadaan seperti
itu jelas membuatku bingung. Tapi aku terus mencoba berpikir positif. Dengan
datangnya mereka ke rumah, berarti setidaknya ada beberapa orang yang akan
membanu menangkap tokek. Tapi di sela – sela kericuhan itu ada yang berteriak,
‘Heh! Pak RT!
Apakah Anda menggunakan tokek ini sebagai pesugihan? Kenapa tidak dari kemarin
dulu kau tangkap dank au bunuh saja tokek keparat itu?’
Lumayan menyayat
hati.
Bapakku keluar
dari rumah memakai sarung kotak – kotaknya, menemui orang – orang rebut yang
benci tokek itu. Terlihat bapakku menjelaskan –entah apa- kepada orang – orang
ricuh yang tak tahu aturan itu. Kini ereka berbondong – bondong naik ke atas
genteng. Mencari keberadaan tokek kampret itu. Ada sebagian naik ke atas, dan
sebagian lagi di bawah saja atau istilahnya ndedepi.
Aku sendiri hanya melihat dari jendela.
Ketika aku tak
tahan lagi aku keluar rumah. Sore ini langit tak cerah, tetapi berwarna ungu
pucat dengan mendung yang menyelimuti. Aku hanya memandangi mereka yang
bersahut – sahutan mencari tokek seperti mencari emas di pertambangan.
Terkadang mereka seperti sedang main petak umpet.
Setelah sekitar
dua jam mencari dan berlarian kesana kemari, bermain petak umpet bersama sang
tokek kampret itu, akhirnya didapati oleh seorang tetanggaku, si tokek itu
pingsan. Ia jatuh dengan sendirinya dari atas genteng. Ia terlihat mabok
mungkin suara – suara orang yang memfitnah ia sebagai alat pesugihan membuat ia
mati perlahan.
Aku mendekati
orang yang menangkap tokek itu. Aku meminjam tokeknya, memegangnya, dan aku
amati tubuhnya. Kulitnya berwarna hitam dengan bintik – bintik putih seperti
kutil yang memenuhi seluruh tubuhnya. Tokek ini besar, sebesar kilanan tangan
kananku. Ekornya keras dan bergaris – garis hitam, menggeliat – geliat. Aku
pikir tokek akan melepaskan ekornya jika ada musuh yang menggangunya. Tapi
ternyata tidak. Ia masih mempunyai cukup kberanian utnuk bertemu dengan manusia
yang memburunya. Satu yang menarik perhatianku. Mata tokek itu. Cahaya matanya
seperti berkata ‘selamatkan aku’. Mata yang menonjol seperti mau keluar.
Mungkin bisa saja sat itu aku memencet matanya dan ia akan keluar dari
lubangnya. Tapi ku urungkan.
Rasa iba
merasuki hatiku. Mata tokek yang ingin berkata ‘selamatkan aku’ ini membuatku
tersentuh. Aku berkata pada orang – orang yang ricuh tadi untuk melapskan tokek
ini. Tapi mereka malah memarahiku, dan merebut tokeknya. Aku lihat mata tokek
itu, seakan ingin berbicara ‘jika aku mati aku akan digantikan saudaraku’.
Entahlah, apakah
itu hanya ilusi dalam otakku atau firasat yang buruk. Aku tak dapat
membedakannya. Aku biarkan saja tokek itu dibunuh. Mati dengan mengenaskan.
Diinjak – injak oleh beberapa orang. Tapi aku melarang bapakku ikut – ikutan.
Setelah tokek
itu mati, orang – orang pun peri begitu saja meninggalkan bangkai tokek yang
gepeng dan melet itu. Matanya keluar, kaki – kakinya melentang dengan lebar dan
tubuhnya sudah hampir tipis seperti rempeyek. Hati ini tersentuh. Ku ambil
cangkul dan ku gali kuburan untuknya. Tokek yang senantiasa jadi alarm yang
setia.
Beberapa hari
setelah kejadian tragis yang menimpa tokek kampret, kini tak pernah lagi hadir
dalam malam – malamku. Tak ada lagi suara sumbangnya. Cicak – cicak di rumahku
pun sekarang terlihat bahagia karena tak ada cicak raksasa yang merampas
makanan lezatnya. Dan aku juga bisa hidup normal, tanpa kantung mata yang
menghias wajahku.
Beberapa hari
kemudian,
Orang – orang
kembali ricuh dan geger. Dari berita yang beredar, katanya ada puluhan bahkan
ratusan tokek hitam dan besar yang kini menghantui kehidupan mereka. Tokek –
tokek itu ada di setiap sudut rumah orang – orang yang kemarin sempat geger
itu. Bahkan di depan pintu, di langit – langit rumah pun ratusan tokek berjejer
mebuat barisan seperti tentara yang sedang menjaga daerah teritorialnya. Tai –
tai tokek itu bertebaran, membawa aroma busuk yang menyengat. Tak segan – segan
tokek – tokek itu jatuh, masuk ke dalam mulut orang yang sedang menganga. Di
rumahku sendiri tak ada seekor tokekpun.
0 komentar:
Posting Komentar